Catatan Menuju Turnamen Pioneer Cup, Minggu 5 Oktober 2025
Penulis : Silvester Pantur, Golfer PGC Sangatta
Cahaya bintang malam itu, terlihat remang tertutup awan tipis di langit Tanjung Bara, Sangatta. Di lantai dua, ruangan Tanjung Bara Club, terdengar suara bersahut-sahutan. “Empat belas juta!” “Lima belas juta!’’ “Enam belas juta!” “Sold. Enam belas juta,” seru seorang lelaki paru baya, melalui pengeras suara. Suara itu diikuti gemuruh tepuk tangan seisi ruangan.
Rupanya di dalam ruangan itu sedang berlangsung acara amal. Lelang tim golf peserta turnamen Pioneer Cup, oleh komunitas olahraga golf di lingkungan PT Kaltim Prima Coal (KPC). Di balik tawa dan suara tepuk tangan itu, ada denyut harapan, ada gema masa depan yang hendak dibangun.
Pada tahun ini, Pioneer Cup akan digelar pada, Minggu 5 Oktober 2025, yang didahului lelang tim pada, Jumat 3 Oktober 2025. Lelang ini adalah panggung amal. Tempat para golfer meletakkan kebanggaan, dan menggenggam niat mulia, menyokong pendidikan anak-anak dari sekitar operasional KPC, di Kabupaten Kutai Timur.
Sejak awal digelar pada tahun 90-an, Pioneer Cup telah menjelma menjadi ladang berkah. Lebih dari Rp 3 miliar dana abadi berhasil dikumpulkan, mengantarkan sedikitnya 416 anak Kutai Timur menapaki impian meraih cita-cita. Dari jumlah itu, sebagian besar kini memili cerita sukses masing-masing. Ada yang menjadi dokter, guru, wartawan, pegawai negeri, karyawan swasta, hingga pengusaha.
Dua di antaranya adalah Dede Asep Puralam dan Juwita Sari Sihaloho. Nama mereka hanyalah dua dari ratusan, tetapi kisah hidupnya menjadi cermin, bahwa setiap ayunan stik, setiap angka yang tertera dalam lelang tim, adalah fondasi bagi rumah masa depan yang kokoh.

dr Dede Puralam: Dari Pondok Rawa ke Kursi Dokter
“Hidup saya dulu adalah soal bertahan,” kata Dede Asep Puralam, lulusan kedokteran gigi dari Universitas Hasanuddin, Makassar.
Dede datang ke tanah transmigrasi Rantau Pulung Tahun 1995, tanpa harapan. Bersama ibu dan dua saudaranya, ia meninggalkan kampung halaman di Sukabumi. Ayah dan ibu telah berpisah, hidup di tanah baru bukan perkara mudah.
Begitu lulus SD, Dede hampir putus sekolah. Uang tak ada, jalan seolah buntu. Namun nasib baik mengetuk lewat beasiswa Prima Golf Club, program yang lahir dari dana turnamen Pioneer Cup. Berkat itu, ia bisa duduk di bangku SMP YPPSB, sekolah yang sebelumnya terasa mustahil bagi anak transmigran kecil dari Bojong Jengkol.
Kesuksesan bukan milik orang yang cepat patah semangat. Rintangan selalu menjadi teman karib, dan perjalanan tidak selalu mudah. Semasa SMA, pernah Dede membangun pondok dari limbah kayu di tengah rawa. Pernah pula banjir membuatnya harus mengungsi ke mushola sekolah. Tapi justru dari sana, Dede belajar kuat. Memimpin. Membangun kemandirian, dan mengikat persaudaraan.
Saat masa koasnya beberapa tahun lalu, ribuan gigi sudah ia cabut demi kesehatan masyarakat tak mampu. Dede tersenyum kecil ketika bercerita, “Fakultas meminta syarat 25 gigi untuk bisa jadi dokter gigi. Saya sudah cabut 1.300 gigi, untuk orang-orang kecil yang tak sanggup bayar.”
Dari sini kita belajar, kebaikan yang ditanam para pegolf, menular. Membentuk kebaikan lainya.

dr Juwita: Luka yang Menjadi Cahaya
Berbeda dengan Dede, hidup Juwita Sari Sihaloho ditempa kehilangan. Ia masih SMA ketika ibunda menghadap Yang Maha Kuasa. Pesan terakhir sang ibu sebelum pergi, sangat singkat, namun membekas seumur hidup. “Tolong jaga adik-adikmu, ya.”
Kesedihan hampir merenggut semangatnya. Tiga tahun penuh ia bergumul dengan rasa sesal dan kehilangan. Tapi beasiswa Pioneer Cup kembali menyalakan pelita. Di SMP dan SMA, Juwita selalu menorehkan prestasi. Dari Sangatta, ia menapak ke Samarinda, menempuh kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
Cita-citanya sederhana namun teguh. Menjadi dokter, agar tak ada lagi anak yang kehilangan ibu seperti dirinya.
Hari ini, Juwita sudah mewujudkan mimpinya. Bahkan setelah beberapa tahun menjadi dokter di Kutai Timur, tangga menjadi dokter spesialis sedang dinapakinya.
Saat masih di bangku kuliah, Ia pernah membantu persalinan seorang ibu, dan terperanjat ketika bayi lahir dengan bobot 4,2 kilogram. Ia tertawa mengenangnya. Tapi di balik tawa itu, ada keyakinan, bahwa setiap perjuangan, setiap rupiah yang pernah ia terima dari dana beasiswa Prima Golf Club, telah melahirkan kehidupan baru. Bukan hanya baginya, tetapi juga bagi orang-orang yang kini ia tolong.
Rumput Hijau, Harapan yang Tak Pernah Padam
Di balik setiap swing dan tepuk tangan di Pioneer Cup, sesungguhnya ada air mata, ada doa, ada kisah panjang anak-anak yang nyaris terhenti langkahnya.
Dana yang terkumpul dari ajang lelang tim bukanlah sekadar angka. Ia adalah pintu sekolah, buku pelajaran, bahkan secuil harapan bagi anak-anak Kutai Timur untuk bisa meraih mimpi lewat sekolah.
Tahun ini,sudah terdaftar 24 tim dengan 96 golfer akan bertanding. Namun kemenangan sejati bukanlah siapa yang mencetak birdie atau eagle, melainkan siapa yang paling tulus membuka hati saat palu lelang diketuk.
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, lelang tim akan jadi momen paling mendebarkan. Dari sorakan riuh, akan lahir keputusan-keputusan yang menentukan, berapa banyak anak lagi yang bisa tersenyum menenteng seragam sekolah, berapa banyak lagi Dede dan Juwita yang lahir dari tanah Kutai Timur.
Mantan Presiden PGC Muhammad Rudy (kiri) memberikan simbolis hasil dana lelang Pioneer Cup kepada Presiden PGC saat ini, Hendro Ichwanto (kanan)Jembatan Dari Lapangan Hijau ke Ruang Kelas
Pioneer Cup bukanlah sekadar tradisi olahraga. Ia adalah jembatan, menghubungkan lapangan golf dengan ruang-ruang kelas sederhana di desa-desa.
Ketika para golfer melelang timnya, sesungguhnya mereka sedang melelang nasib. Bukan nasib mereka sendiri, tapi nasib anak-anak yang wajahnya mungkin tak pernah mereka jumpai.
Namun percayalah, di balik setiap donasi yang Anda sisihkan, ada doa yang tak pernah putus. Ada seorang anak yang suatu hari akan berdiri di hadapan Anda, berkata lirih seperti Dede dan Juwita: “Terima kasih. Tanpa Pioneer Cup, mungkin kami tak pernah sampai sejauh ini.”
Jumat, 3 Oktober 2025, palu lelang akan kembali diketuk. Saat itulah, kesempatan besar hadir bagi para golfer untuk menorehkan jejak, bukan hanya di rumput hijau, tetapi di jalan hidup generasi masa depan.(*)







